;

Kenaikan BBM = Pemangkasan Angkot secara alami?

Rasanya tidak afdol sebagai warganegara yang baik bila tidak ikut serta membahas segala sesuatu yang terkait dengan kenaikan BBM. Tentu tidak selayaknya bila mengacuhkan hal yang 'sebegitu penting" bagi kehidupan jutaan manusia di negara ini. Blog ini bisa disebut tidak tanggap dan peka terhadap apa yang terjadi di masyarakat bila itu terjadi.Oleh karena izinkanlah penulis untuk ikut serta dalam keriuhan yang sepertinya akan terus berlanjut sampai beberapa hari atau minggu ke depan.


Hanya karena blog ini memang dibuat khusus untuk membahas mengenai Bogor, maka topik yang akan diangkatpun harus tetap yang berkaitan dengan kota hujan ini. Nah, mengingat Bogor punya julukan tidak resmi sebagai "KOTA SEJUTA ANGKOT" dan tentu saja angkot pasti berkaitan dengan BBM , jadi tulisan kali ini ya mengenai angkot. Angkot lagi .. tapi ya bagaimana lagi, mau tidak mau memang harus diterima bahwa Angkot adalah salah satu ciri khas dari Kota Bogor.


Idenya tercetus ketika mendengar keluhan dari beberapa ibu tetangga terkait laporan dari anak-anak mereka soal tarif angkot yang langsung naik Rp. 1000.- pada hari dimana harga BBM baru diumumkan. Celetukan resah menyangkut pengeluaran untuk transportasi rumah tangga yang dipastikan akan membesar. Di beberapa media online disebutkan bahwa pemda Kota Bogor menyetujui desakan para supir angkot untuk menaikkan tarif. Hasilnya para supir angkot meninggalkan balaikota dengan "kemenangan" berupa 40% kenaikan dari tarif sebelumnya.


"Kemenangan" dalam tanda kutip karena entah mengapa saya cukup yakin bahwa mereka merasa tetap merasa risau walau tuntutan mereka sudah dikabulkan. Tidak berbeda dengan pegawai, karyawan, buruh , mereka juga merasakan kerisauan itu. Risau karena mereka sudah bisa membayangkan beberapa hal yang akan terjadi menyertai kenaikan harga BBM seperti



1) tauke angkot yang biasanya akan menaikkan angka setoran dengan alasan kenaikan harga onderdil dan perawatan mobil

2) kebutuhan rumah tangga para supir yang sudah pasti akan meningkat belum tentu tertutupi dengan kelebihan dari kenaikan tarif.


Hanya ada satu hal yang mungkin paling dikhawatirkan selain kedua hal tersebut, yaitu berkurangnya jumlah penumpang. Walau mereka bukan pakar/ahli ekonomi atau tranportasi hanya mereka sudah terbiasa untuk melihat gejala perubahan perilaku dalam masyarakat setiap terjadi kenaikan harga BBM. Sama seperti kita semua mereka cukup paham walau tak didasari angka-angka statistik tentang hal tersebut.

Sempat terpikir oleh saya apakah kekhawatiran tersebut masuk akal atau tidak. Mengingat angkot adalah kebutuhan warga Bogor. Hanya setelah melakukan beberapa kali utak atik angka dan browsing sana sini , akhirnya saya menemukan sedikit pencerahan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Kalau menurut hitung-hitungan ini maka (berdasarkan asumsi dan bukan data yah)


1. Single : ke kantor butuh 2 (PP) X Rp. 3,500.- = Rp. 7,000.-. (asumsi) hanya butuh sekali naek angkot sebulan Rp. 175,000.(25 hari kerja)


2. Menikah tanpa / belum punya anak dan keduanya bekerja : 2 X 2 X Rp 3,500x 25 hari = Rp. 350,000.-/bulan

3. Menikah dengan 1 anak sekolah : 3 X 2 X Rp. 3,500 X 25 hari = Rp.525,000.-/bulan

Hanya untuk ongkos angkot saja. Belum kalau dilanjutkan dengan transportasi lain atau kalau kegiatan di luar yang rutin seperti sekolah dan kerja. Angka tersebut akan semakin membesar tergantung jumlah anggota keluarga atau frekuensi yang membutuhkan transportasi. Dengan pengeluaran anggaran sektor (niru para pakar waktu ngomong) transportasi bagi sebuah rumah tangga sebegitu besar, maka banyak keluarga di Bogor akan berusaha menghindari kegiatan sekunder yang membutuhkan transportasi dalam keseharian. Yang otomatis akan berpengaruh terhadap penumpang angkot.

Tindakan lain yang menjadi opsi bagi keluarga di Bogor adalah mencari pengganti angkot sebagai sarana transportasi mereka. Kemungkinan besar pilihan akan jatuh pada sang The King of the Road II alias SEPEDA MOTOR. Alasannya sederhana karena biaya transportasi bulanan sudah sangat mendekati biaya cicilan sebuah sepeda motor. Sebuah Honda Beat (hasil cek via internet) bisa dicicil selama 34 kali dengan besaran Rp. 565,000 per bulan. Sangat tipis perbedaannya. Padahal sepeda motor menawarkan banyak kelebihan seperti milik sendiri, lebih lincah dan flexible, dapat menjangkau tempat-tempat yang tidak bisa dijangkau angkot, lebih cepat dan yang pasti irit. Bandingkan dengan angkot yang suka ngetem (boros waktu) dan bukan milik sendiri. Apa yang ditawarkan motor terlalu sulit untuk ditutupi dengan selisih harga antar keduanya

Hal-hal ini pada akhirnya akan mendorong perubahan perilaku warga Bogor dalam bertransportasi. Yang kemungkinan besar adalah berkurangnya minat masyarakat Bogor untuk naik angkot. Berkurangnya minat akan berujung pada berkurangnya ketersediaan penumpang bagi angkot. Berkurangnya  penumpang akan menghasilkan pendapatan yang berkurang atau nombok setoran pada sang tauke. Berkurangnya setoran akan berakibat ketidakmampuan membeli onderdil. Juga tentu para supir akan berpikir ulang apakah "narik" angkot akan memberikan pendapatan bagi keluarga mereka.

Tentu saja hal ini tidak akan terjadi dalam sekejap dan apa yang ditulis di atas masih sebatas kemungkinan. Hanya melihat situasi begitu banyaknya angkot kosong di luar jam-jam kerja/sekolah menunjukkan hal tersebut sebenarnya sudah terjadi. Kenaikan BBM dan tarif angkot hanya akan menstimulir lagi proses peralihan ini. Bisa dikata "kemenangan" supir angkot hari ini perlahan akan menjadi sebuah bumerang bagi diri mereka sendiri. Tanda-tanda berkurangnya penumpang sejak kenaikan tarif sudah terasa oleh beberapa jalur angkot menurut berita.

Entah bagaimana cara memandang kemungkinan ini. Apakah bisa disebut sebagai sesuatu yang "baik"? atau "buruk"? Mungkin bagi yang mendukung pengurangan angkot, maka kenaikan BBM dan "tarif" sepertinya setidaknya akan membawa angin segar untuk itu. Hanya bagi yang membutuhkan dan terutama keluarga para supir, hal tersebut adalah sesuatu yang "buruk". Saya tidak bisa memutuskan karena sudah sejak lama saya tidak mengandalkan angkot dalam beraktifitas. Saya sekeluarga mengandalkan dua buah Supra , Fit dan X sejak 8 tahun lalu (selain KRL) dengan alasan yang sama , yaitu mengurangi biaya transportasi dalam APBRT (Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga) . Dari situlah opini ini dibuat, berdasarkan pengalaman yang ternyata memang manjur.











Share on Google Plus

About Anton Ardyanto

Terima kasih untuk berkenan membaca tulisan ini. Saya berharap ada yang dapat diambil dan dimanfaatkan dari tulisan ini. Kalau anda berkenan mohon luangkan waktu berharga anda sedikit lagi untuk memberikan sesuatu. Saran, masukan atau kritik akan sangat berharga bagi saya. Apalagi kalau anda berkenan share tulisan dari blog ini kepada yang lain.

Thank you for your time to read my writings. It means a lot to me. I really hope that there is something that you, the reader can take from my writing. I would be honored if you can spare a bit more of your precious time to let me have your comments or even your critics. I would be more than grateful if you can share something from this blog to other people.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

8 comments:

  1. Kalau menurut saya, manajemen angkutan umum macamnya angkot dan bus kota memang mendesak untuk diperbaiki agar memungkinkan untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga tarif angkot tidak naik.

    Selama ini memang kendaraan bermotor pribadi masih menjadi pilihan yang ekonomis. Bilamana tarif angkot ada di angka Rp 1.000 sekali perjalanan mungkin banyak warga yang tertarik, namun dengan tarif angkutan yang murah perlu bantuan subsidi dari pemerintah.

    Bisa jadi di kemudian hari pemerintah justru akan membatasi kendaraan bermotor pribadi seperti pengenaan pajak yang tinggi dan "memaksa" warga untuk beralih menggunakan angkutan umum.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Justru saya berpikiran sebaliknya. Daripada memberi subsidi yang ujungnya memanjakan, mengapa tidak dilakukan penggantian moda transportasi. Angkot mendidik masyarakat untuk menjadi malas (karena penumpang bisa nyetop angkot kapan saja) dan membentuk ketidak teraturan. Saya pribadi lebih suka kalau diganti dengan yang seperti Trans Pakuan atau Busway daripada memberi subsidi.

      Delete
  2. kenaikan ini memang berat, namun msh bisa kita siasati dengan aneka kiat. kalau jarak dekat rasanya lebih sehat dan hemat pakai sepeda saja.
    menjarangkan waktu keluar juga bisa jadi solusi. pakai motor tentu juga bisa mengirit asalkan ga sering-sering :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, aneka solusi ada asal kreatif. Hanya kita seperti sedang membeli masa depan yang lebih baik. Mau ga mau sering kang , kalau saya harus ke stasiun pake sepeda bisa kelenger di jalan. Belum lagi harus berdiri di atas KRL setiap hari... hahahaha...

      Delete
  3. Replies
    1. boleh juga tuh.. pernah naek sepeda di Bogor ga.. nantang nyali lho.. hahahaha bayangin naek sepeda dengan sebelah truk lewat...:D

      Delete