;

BOGOR : Perlukah Rumah Susun ? (IDE)


Kotamadya (Kodya) Bogor, saat ini sama seperti juga dengan berbagai kota lain di Pulau Jawa menghadapi masalah-masalah klasik yang berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Dengan lahan yang hanya seluas 11,850 hektar atau sekitar 118 km persegi, Tingkat kepadatan penduduk di Kodya Bogor adalah sangat tinggi. Kalau menurut data website resmi pemerintah Kodya Bogor, kota ini memiliki tingkat kepadatan antara 5,000 jiwa / Km2 sampai 11,000 jiwa/Km2.Tingkat kepadatan tertinggi ada di Kecamatan Bogor Tengah yaitu 11,770 jiwa/Km2 sedangkan yang terendah di Bogor Selatan dengan 5,019 Km2. Tingkat kepadatan yang kalau dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia menempatkan Kodya Bogor pada posisi antara 9-16 sebagai kota terpadat.


Salah satu masalah yang timbul akibat tingkat kepadatan penduduk adalah tentang bagaimana meyediakan tempat tinggal bagi penduduknya. Hampir tidak ada lagi tersedia tanah yang memadai untuk dijadikan lahan  perumahan. Selain karena tingkat kepadatan penduduk, kebijakan Pemerintah Kodya Bogor yang mentargetkan kota ini menjadi kota jasa dan perdagangan membuat terjadi "perebutan" lahan antara pembangunan perumahan dengan pembangunan tempat usaha.Hal ini berujung pada meroketnya harga tanah di Kodya Bogor. Terlihat dari harga tanah di beberapa kawasan seperti di area sekitar Jl. Soleh Iskandar yang mencapai 5-10 juta per meter persegi.


Malonjaknya harga tanah pada akhirnya menyebabkan harga rumah huni di Bogor tidak lagi terjangkau oleh banyak warga Bogor sendiri.Sulit menemukan sebuah rumah layak huni dengan harga di bawah 200 juta rupiah. Apalagi di kawasan-kawasan utama dimana harga rumah berkisar antara 350 juta -1 milyar rupiah. Angka yang sulit terjangkau oleh mayoritas warga Kodya Bogor dan hanya bisa teraih oleh kalangan menengah atas. Bahkan dengan banyaknya tawaran Kredit Pemilikan Rumah dari berbagai bank , rumah dengan harga tersebut sulit untuk dapat dimiliki.

Akibat dari hal tersebut banyak warga Bogor terpaksa harus berbagi dengan sesama anggota keluarga. Bahkan banyak yang walaupun sudah berkeluarga tetap harus tinggal di Pondok Mertua Indah. Tidak jarang sebuah rumah kecil harus diisi oleh 2-3 keluarga sekaligus.

Kebutuhan ini mendorong lahirnya para "pengusaha" dadakan yang memanfaatkan lemahnya penerapan aturan di Bogor dengan mendirikan rumah-rumah kontrakan di berbagai tempat yang tidak seharusnya. Hal ini terlihat dari banyaknya rumah kontrakan yang berdiri di sepanjang aliran berbagai sungai di Bogor ataupun di dekat pemakaman umum dan di berbagai tempat yang tidak seharusnya. Biasanya bentuk bangunan rumah kontrakan hanya mengedepankan kapasitas huni tanpa memikirkan nilai-nilai estetika atau lingkungan. Tidak jarang ditemukan bangunan yang menjorok menutupi got atau selokan.Harga sewa rumahpun sebenarnya tidak terlalu murah , rumah kontrakan "sangat sederhana" di sepanjang aliran sungai biasanya mematok uang sewa Rp 250,000.- sampai dengan Rp 500,000.- per bulan.


Hampir bisa dipastikan tren ini akan terus berlanjut mengingat pesatnya pertumbuhan penduduk Kodya Bogor. Tidak bisa dipungkiri tren ini juga disebabkan oleh semakin padatnya Jakarta sehingga banyak warga disana memilih untuk bermigrasi ke kota-kota sekitar seperti Tangerang, Bekasi dan Bogor. Luberan dari Jakarta membuat kompetisi untuk mendapatkan rumah, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, menjadi sangat kompetitif dan bisa dipastikan akan mengatrol harga tanah dan bangunan di kota hujan ini. Dalam 5-10 tahun mendatang bisa diprediksi bahwa harga tanah akan berlipat dari sekarang mengingat luas lahan di Kodya Bogor tidak apan bertambah sedangkan kebutuhan akan terus meningkat.


Lalu bagaimana solusi dari permasalahan tersebut ?

Menurut penulis, Pemerintah Kotamadya Bogor sebenarnya harus mulai berpacu dengan waktu. Situasi yang terlihat hampir di setiap penjuru Kodya Bogor sudah menunjukkan BOM WAKTU yang dihasilkan oleh demografis kota ini sudah berdetik.tinggal menunggu waktu bahwa hal itu akan memicu berbagai hal dari mulai keamanan , kesehatan dan sekaligus juga kesenjangan sosial diantara warga Bogor sendiri. Hal yang harus dilakukan adalah meninjau ulang semua yang berkaitan dengan tata ruang. Pemda harus melakukan perencanaan ulang agar bisa memanfaatkan semua lahan kosong yang tersedia semaksimal mungkin. Harus dilakukan sebuah langkah drastis untuk mempertemukan kebutuhan akan rumah huni bagi warganya dan lahan yang tersedia.

Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah meniru langkah-langkah yang pernah/sedang  dilakukan oleh kota-kota di Indonesia yang memiliki masalah sejenis, salah satunya adalah Jakarta. Kota ini walau sampai sekarang masih mengalami masalah yang sama tapi seharusnya sudah menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah ini selain membangun RUMAH HUNI secara VERTIKAL .


Kodya Bogor tidak memiliki alternatif lain selain harus melakukan cara yang sama . Pemda harus mewajibkan pembangunan rumah hunian yang vertikal dan bukan lagi horisontal yang akan banyak memakan lahan. Langkah-langkah ini sepertinya sudah mulai dijalankan dengan adanya beberapa contoh HUNIAN VERTIKAL yang mulai berdiri di kota ini seperti BOGOR ICON , DRAMAGA TOWER dan beberapa lagi yang sudah mulai dibangun. Hanya sayang karena berada di lokasi yang strategis dan berbentuk apartemen maka harganya bahkan melebihi harga rumah di perumahan biasa dan tentu saja tidak akan terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Padahal masyarakat yang paling membutuhkan rumah layak huni adalah dari kalangan ini.


Pemda Kodya Bogor harus lagi-lagi meniru apa yang dilakukan "Big Brother"-nya , Jakarta dewasa ini, yaitu membangun berbagai RUMAH SUSUN (Rusun) murah atau sewa atau setidaknya mendorong pengembang untuk membangun hunian versi ini. Harganya pun harus terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Membangun apartemen berharga mahal tidak akan memecahkan masalah bahkan justru mengundang lebih banyak masalah karena pembeli hunian jenis ini adalah pendatang dan bukan warga Bogor sendiri.

Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah dilakukan . Masalah biaya yang besar dan masalah psikologis masyarakat Kodya Bogor yang lebih suka menginjakkan kaki di tanah akan harus dihadapi. Juga tentangan dari berbagai kalangan yang tetap menginginkan Bogor menjadi sebuah kota wisata dengan pemandangan indah di semua penjuru akan timbul , seperti kasus Hotel Amaroossa. Masalah-masalah ini harus dipecahkan dengan memberi penjelasan secara transparan mengenai permasalahan Kodya Bogor dewasa ini. Pemda harus proaktif untuk mensosialisasikan rencana mengenai Kodya Bogor ini. Inti dasarnya Pemda Kodya Bogor harus bisa "memaksa" warga untuk berpartisipasi (alias menerima) rencana tersebut. Tanpa bisa "memaksa" warga maka masalah akan terus berkembang dan akhirnya menimbulkan banyak efek negatif pada Bogor secara keseluruhan.

Semua pihak di Bogor harus mulai bersiap diri menghadapi perkembangan Kodya Bogor saat ini. Permasalahan yang timbul sudah mencerminkan dengan jelas arah yang harus ditempuh, yaitu tidak lain menjadi sebuah Kota Modern/Metropolitan. Bentuknya mungkin lebih mini dari DKI Jakarta tetapi karakter kota hujan ini sudah lebih mirip dengan Kota Modern dibandingkan sebuah kota peristirahatan seperti di masa lalu. Dari semua sisi, termasuk permasalahannya sudah merefleksikan hal tersebut. Oleh karena itu suka atau tidak suka pemecahan dari berbagai permasalahan di kota ini tidak bisa lagi hanya mengacu pada KENANGAN INDAH masa lalu. Bogor , termasuk warganya harus menerima hal ini termasuk dalam hal RUMAH. Semua harus bisa menerima dan mulai mengadaptasikan diri bahwa RUMAH SUSUN adalah hal yang tak terelakkan dan sangat dibutuhkan di kota ini.

Bogor , 15 Nopember 2014









































Share on Google Plus

About Anton Ardyanto

Terima kasih untuk berkenan membaca tulisan ini. Saya berharap ada yang dapat diambil dan dimanfaatkan dari tulisan ini. Kalau anda berkenan mohon luangkan waktu berharga anda sedikit lagi untuk memberikan sesuatu. Saran, masukan atau kritik akan sangat berharga bagi saya. Apalagi kalau anda berkenan share tulisan dari blog ini kepada yang lain.

Thank you for your time to read my writings. It means a lot to me. I really hope that there is something that you, the reader can take from my writing. I would be honored if you can spare a bit more of your precious time to let me have your comments or even your critics. I would be more than grateful if you can share something from this blog to other people.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

17 comments:

  1. Saya kira bukan hanya Bogor saja. Kota-kota besar di Indonesia ini sepatutnya mulai mengembangkan hunian susun untuk warganya, terutama bagi warga menengah ke bawah. Karena lonjakan pertumbuhan penduduk di Indonesia ini terbilang tinggi. Jadi mau tidak mau lahan untuk perumahan horizontal akan semakin terbatas.

    Tapi rumah susun ini pun bukan tanpa kendala. Salah satunya menurut saya, rumah susun belum membudaya bagi warga menengah ke bawah. Hal ini disebabkan oleh budaya orang Indonesia yang umumnya membangun rumah secara horizontal. Ini yang menyebabkan kita mengenal lingkup sosial seperti dusun dan kampung.

    ReplyDelete
  2. Memang betul kang.. cuma kan kalau saya menulis soal kota lainnya , saya ga begitu paham..:D . Lagipula Kodya Bogor bukan kota besar , Bogor itu kota kecil.. lho..Tapi memang semua hal ini harus dipikirkan untuk masa depan kita. Mengandalkan luasnya lahan bukan lagi sebuah opsi yang bagus persis seperti yang akang bilang

    ReplyDelete
  3. Thx gan ,bermanfaat banget artikel nya

    ReplyDelete
  4. Salam,

    Tulisan yang menarik, tidak biasa, tapi membuat berfikir... Saya pribadi cenderung pendukung pembangunan perumahan vertikal. Selain lebih hemat lahan yang sudah semakin sedikit stock-nya, juga bisa menambah lahan hijau. Lagipula pembangunan perumahan vertikal membuat kota semakin tertata rapih (seharusnya). Tinggal bagaimana menyesuaikan saja perilaku masyarakat dari yang biasanya hidup di perumahan horisontal, menjadi hidup di perumahan vertikal dimana banyak ruang2 bersama digunakan.

    Salam kenal,
    Mona (www.anggianirifani.blogspot.com)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya kalau dibuat penelitian, bagus juga... :)

      Delete
    2. Kadang perlu tindakan berani mbak untuk memecahkan masalah. Tidak bisa hanya mengandalkan yang biasa saja . Pasti akan banyak penentangan dari berbagai kalangan hanya kalau tidak dilakukan masalah yang lebih besar akan timbul di depan. Harusnya sih begitu dilakukan penelitian dulu sebelum melakukan hal tsb di atas. Amdal dan segala macamnya

      Delete
    3. Lupa.. terima kasih sudah berkunjung kesini Mbak.. saya pengen juga suatu waktu main ke Pasar Klender..:D

      Delete
  5. Betul Pak, rumah susun adalah solusi untuk keterbatasan lahan yang ada. Rumah susun ya hendaknya lebih murah dari rumah pada umumnya, tempatnya juga harus layak huni, bersih, indah ngga banyak jemuran bergelantungan heheh. Harusnya kepemilikan rumah juga dibatasi. satu nama tidak boleh memiliki lebih dari satu rumah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak.. memang harus lebih murah, kalau nggak ya percuma. Soal jemuran.. hehehe bukannya nambah hiasan jadinya.. just a kidding

      Delete
  6. wa kalau menurut saya perluh tu
    itung itung untuk penataan keindahan kota BOGOR itu sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga rasa perlu.. cuma kayaknya masih menghadapi banyak tantangan buat bikin rusun di Bogor

      Delete
  7. Menurut saya, untuk di kota madya mungkin perlu pak,

    ReplyDelete
  8. Perlukah rumah susun di Kota Bogor? Bukankah Pemkot Bogor memiliki program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni (RS-RTLH), Bagaimana relevansinya dari program tersebut pak?

    ReplyDelete