G. Salak dilihat dari jl. Sindang Barang |
Entah mengapa, rasanya dalam beberapa tahun belakangan ini Gunung Salak menjadi semakin pemalu. Penampakannya di muka umum semakin hari semakin sedikit saja. Padahal di masa lalu gunung yang merupakan salah satu icon dari Kota Bogor selalu tampil percaya diri. Dulu sering sekali gunung setinggi 2,211 M (dpl-dari permukaan laut) ini menebarkan pesonanya yang mampu membuat terkesima yang memandang. Hanya pada masa sekarang penampilannya di kota hujan ini semakin jarang dan jarang. Kalaupun tampil acap kali tidak dalam bentuknya yang utuh.
G. Salak dari Jl. Abdullah Bin Nuh |
Rasa penasaran inilah yang mendorong saya pada Sabtu, 06 Desember 2014 yang lalu membulatkan tekad untuk berburu Gunung Salak ini. Penasaran untuk melihat lagi sosok yang selalu terlihat pada saat berangkat atau pulang sekolah atau pada saat bermain. Penasaran ingin "bertanya" kepadanya mengapa dia tak mau lagi hadir lebih sering ke hadapan kami, penghuni Bogor sekaligus ingin lagi melihat sosoknya.
Berbekal kamera di Xperia M dan si tua Supra Fit alias si Fit, saya pun memulai perburuan tersebut.
Melewati Jl. Sholeh Iskandar, terlihat sekilas penampakan si Dia , hanya tetap tidak memuaskan. Hanya sebagian kecil dari sosoknya yang bisa dipandang. Si Fit saya pacu mengarah ke Jl. Abdullah Bin Nuh yang lebih terbuka .Walau akhirnya terlihat, hanya terlalu jauh, terlalu jauh.
G. Salak dari Cikaret |
Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Jl. Sindang Barang dan hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Terlalu banyak penghalang diantara saya dengan gunung tersebut. Begitu banyak bangunan dan tiang-tiang yang menghalangi.
Mengeluh saya dalam hati , dimana tempat yang terbaik untuk mendekatinya ?
Si Fit dengan setia mematuhi permintaan saya untuk melanjutkan perjalanan. Arah yang dituju semakin mengarah ke kaki si Dia. Kalau dia tak mau mendekat , maka saya yang akan mendekat. Si Fit melaju ke arah Ciapus. Melewati Cikaret sang gunung pemalu lagi-lagi menggoda dengan menampilkan dirinya.
Hah !! .. tidak bisakah bangunan-bangunan tersebut bergeser sedikit. Mungkinkah tiang-tiang listrik itu berkenan untuk memindahkan diri sendiri supaya sang gunung mau tampil seperti dulu.
G. Salak dari Kota Batu Ciapus |
Hemm.. pulang atau lanjut ? Saya putuskan untuk melanjutkan. Si tua Fit saya paksa untuk menanjak menuju ke arah Kota Batu. Napasnya si Fit yang terasa berat mengingatkan saya untuk mengajaknya ke "dokter" motor untuk check up.
G. Salak dari jalan Curug Luhur |
Ternyata si Fit tidak mau mengakui bahwa dirinya sudah tua dengan menunjukkan bahwa walau kurang terurus dia masih mampu. Tua tua keladi memang. Cukup pakem ketika angkot 03-biru mendadak berhenti (seperti biasa) atau berbelok tanpa lampu sein. Cukup mampu mendahului dan lincah di jalan yang sempit dan lalu lintas yang padat di Ciapus dan semrawut pagi itu. Rupanya si Fit ingin menyenangkan tuannya dan menunjukkan bahwa di masih mampu.
G. Salak dari depan Pura Jagat Karta |
Sesampainya di KotaBatu, lagi-lagi si gunung nan pemalu itu menampakan sebagian sosoknya. Walau hanya sedikit tetapi terlihat jelas sudah lebih cantik dari jarak yang lebih dekat. Hanya dan hanya.. tetap saja para bangunan dan tiang listrik atau telpon tidak mau mengalah untuk bergeser. Entah kenapa. Mungkin mereka iri pada sang gunung dan ingin menutupi kecantikannya.
G. Salak di jalan yang mengarah ke Pura Jagat Karta |
Rasa penasaran yang tidak hilang-hilang membuat saya terus memacu si tu Fit ke berbagai tempat setelah itu, Pura Jagat Karta , Curug Luhur dan beberapa tempat lain di kaki gunung Salak .
Sampai akhirnya saya menyadari sesuatu. Mungkin bukan sang Gunung yang pernah meletus terakhir kali tahun 1938 ini yang menjauh dari kami, penghuni Bogor. Mungkin kamilah yang menjauh darinya. Mungkin bukan karena si Dia tidak mau menampilkan dirinya. Mungkin manusianya lah yang sibuk menutupinya dari pandangannya sendiri.
Mungkin manusianya terlalu sibuk dengan urusannya dan kepentingannya sendiri sehingga tidak lagi menganggap penting kehadiran gunung ini dalam kehidupan. Mungkin karena kami , warga Bogor sudah merasa cukup dengan simbolnya yang ada di badge para PNS kota Bogor sehingga kehadirannya tidak lagi diperlukan. Mungkin karena masa ini para manusia hanya menganggapnya sekedar sebagai sumber penghasilan dan bukan sebagai sahabat. Mungkin...
Saya akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan perburuan gunung yang namanya berarti "PERAK" (bahasa Sansekerta) ini . Mungkin karena saya berpikir akan sia sia melanjutkan selama manusia yang ada di Bogor terus melakukan hal yang sama. Mungkin Gunung Salak hanya memberikan dirinya sesuai dengan bagaimana warga Bogor memandang dirinya. Tidak kurang tidak lebih. Saya akhirnya tidak jadi "bertanya".
0 comments:
Post a Comment